OPINI: Real Madrid dan Barcelona Miliki Perbedaan Signifikan Saat Hadapi Krisis
Oleh Dananjaya WP
Real Madrid dan Barcelona dapat disebut sedang menjalani krisis. Keadaan ini tidak mengejutkan bagi yang sudah mengamati perkembangan klub dalam beberapa musim terakhir. Tetapi apa yang terjadi sepanjang musim 2020/21 tetap memberi kejutan tersendiri.
Madrid sebagai juara bertahan berada di peringkat kedua klasemen sementara La Liga, sedangkan Barca kesulitan untuk masuk ke papan atas. Meskipun kedua tim memang membutuhkan sederet pemain baru terkait restrukturisasi, kondisi krisis di Blaugrana terlihat lebih jelas.
Memang terdapat perbedaan yang signifikan antara Real Madrid dan Barcelona ketika menjalani periode krisis saat ini.
5. Efek Kepemimpinan Buruk Josep Maria Bartomeu
Krisis yang diderita oleh Barcelona sudah dapat diprediksi beberapa tahun sebelum 2020. Josep Maria Bartomeu sebagai Presiden memimpin direksi dengan kinerja yang buruk. Permasalahan rekrutmen yang tidak ideal menjadi kunci penting dari permasalahan yang terjadi.
Melihat ke belakang, penjualan Neymar ke Paris Saint-Germain pada 2017 menjadi momen yang sangat penting. Barca mendapat 222 juta Euro dari penjualan bintang Brasil tersebut. Kesalahan utama saat itu adalah panik saat mencari pengganti.
Memang mudah untuk mengatakannya sekarang (atau beberapa tahun terakhir). Tetapi Blaugrana adalah salah satu klub besar di Eropa yang memiliki departemen pemantau bakat pemain yang besar dengan kualitas tinggi. Mereka tidak harus gegabah untuk mencari pengganti yang langsung dapat memberi dampak instan.
‘Kehilangan’ satu atau dua musim tanpa pemain bintang seperti Ousmane Dembele, Philippe Coutinho, sampai Antoine Griezmann dapat disebut sebagai langkah yang lebih baik ketimbang membuang-buang uang, yang kini membuat mereka berada dalam jurang krisis finansial.
4. Kendali yang Dimanfaatkan Florentino Perez Secara Efektif
Florentino Perez bukan sosok yang asing dalam jabatan Presiden di Real Madrid. Perez pertama kali menjabat pada 2000 hingga 2006. Tiga tahun kemudian, lulusan Universitas Teknik Madrid itu kembali terpilih menjadi Presiden di Santiago Bernabeu.
Meskipun tidak memiliki latar belakang khusus terkait sepakbola, kinerja Perez sebagai Presiden patut mendapat pujian. Pengambilan keputusan dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan yang signifikan.
Los Blancos lebih fokus untuk merekrut pemain-pemain muda dengan potensi tinggi, walau pembelian memang dilakukan dengan nilai yang signifikan. Pemain-pemain yang direkrut membentuk campuran yang ideal dengan skuad yang sudah diisi berbagai pemain berpengalaman tinggi.
Secara umum, Perez juga memastikan manajemen Madrid tidak melakukan rekrutmen pemain secara gegabah. Walau kini terdapat beberapa pemain yang sudah melewati masa emas, paling tidak restrukturisasi skuad dapat dilakukan dengan relatif stabil.
3. Perbedaan Pendekatan dalam Rekrutmen Pemain
Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, perbedaan pendekatan rekrutmen pemain yang diterapkan Real Madrid dan Barcelona kini bertolak belakang. Stereotipe yang berkaitan dengan Madrid adalah rekrutmen pemain-pemain bintang dengan harga tinggi, sedangkan Barca dikaitkan dengan pemain-pemain muda berpotensi tinggi dan pemafaaan akademi.
Kini keadaan bertolak belakang. Rekrutmen Philippe Coutinho, Ousmane Dembele, Antoine Griezmann menjadi tiga yang mencolok dari Blaugrana. Melihat Madrid, Rodrygo Goes, Vinicius Junior, dan kembalinya Martin Odegaard patut disorot.
Sejauh ini Madrid juga dapat dikatakan menghargai legenda klub. Raul dan Guti Haz berada di akademi. Zinedine Zidane juga pernah mengisi posisi tersebut.
Kontras dengan Barca, yang dapat disebut menyingkirkan beberapa legenda yang terlibat dalam era kesuksesan klub. Xavi, Carles Puyol, bahkan Eric Abidal yang sempat masuk ke dalam manajemen keluar sebagai kambing hitam.
Disintegrasi di dalam manajemen Blaugrana sangat berpengaruh terhadap rekrutmen mereka yang kacau, dan tidak masuk akal dari segi sepakbola maupun bisnis.
2. Misteri Zinedine Zidane
Zinedine Zidane mengawali karier kepelatihannya dengan luar biasa ketika mendapat tiga titel Liga Champions. Ketika Zidane mengundurkan diri pada 2018, Real Madrid mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan tersebut membuat Zidane kembali satu tahun kemudian dan masih menjabat hingga kini.
Ketika sepakbola di Spanyol kembali berlangsung (paruh kedua 2019/20), Zidane mampu membuat para pemainnya bangkit dan mendapat gelar juara La Liga. Rangkaian performa yang terjadi saat itu hingga kini dapat disebut sebagai misteri dalam karier kepelatihannya.
Terdapat anggapan populer bahwa Zidane berhasil mendapat tiga titel Liga Champions berkat Cristiano Ronaldo. Tetapi kini Zidane masih dapat membuat pemain-pemainnya menunjukkan momen clutch ketika menghadapi momen-momen penting.
Bagaimana sebuah tim dapat membangun rencana untuk menghadapi lawan yang diisi berbagai pemain dengan keadaan seperti itu? Misteri ini juga menimbulkan kesulitan untuk memberi penilaian secara menyeluruh mengenai kinerja Zidane, terutama dari segi taktik.
1. Ronald Koeman Menjadi Sosok yang Salah di Waktu yang Tidak Tepat
Ronald Koeman sudah memiliki mimpi sejak awal karier kepelatihannya untuk memegang posisi tersebut di Barcelona. Sebagai salah satu legenda klub, kesempatan bagi Koeman memang dapat dikatakan terbuka lebar. Namun perjalanan pelatih asal Belanda itu tidak dapat dikatakan konsisten, kecuali saat melatih negara asalnya.
Keadaan yang diperoleh Koeman juga tidak ideal. Mantan manajer Southampton dan Everton itu daatang ketika kondisi politik di Camp Nou sangat buruk. Presiden yang mendatangkannya mengundurkan diri, dan berbagai calon pengganti tidak ingin mempertahankan Koeman.
Siapapun yang berada dalam kondisi seperti itu akan mendapat kesulitan tinggi, tidak hanya untuk memotivasi pemainnya, tetapi juga dirinya sendiri. Koeman berada di tempat yang salah pada waktu yang tidak tepat, dan kini mimpinya terancam hancur bahkan ketika baru berjalan selama empat bulan (September – Desember).