Tiga Alasan Mengapa Liga Champions Seharusnya Menerapkan Sistem Satu Leg di Fase Gugur

Bayern Munchen menjadi juara Liga Champions edisi 2019/20
Bayern Munchen menjadi juara Liga Champions edisi 2019/20 / Pool/Getty Images
facebooktwitterreddit

Setelah pandemi virus korona menghantam dunia mulai awal tahun 2020 ini, sebagian besar aktivitas manusia di muka bumi ini pun mengalami banyak perubahan. Virus korona yang sangat mudah menular membuat aktivitas yang melibatkan kerumunan manusia dalam jumlah besar harus dihentikan. Maka sepanjang 2020 aktivitas manusia seperti bekerja di perkantoran, berjubel di bandara untuk liburan, menonton konser musik, juga menonton olahraga di stadion, nyaris tidak terlihat.

Agenda kompetisi sepak bola juga menjadi salah satu aktivitas yang paling terdampak dari meluasnya virus korona, termasuk turnamen elit sekelas Liga Champions dan Liga Europa. Kompetisi yang mempertemukan klub-klub terbaik di daratan Eropa itu akhirnya menggunakan sistem satu leg memasuki babak perempat final dan digelar tanpa penonton.

Sistem satu leg sebenarnya bukan hal baru dalam penyelenggaraan Liga Champions. Pada musim 1993/94, saat fase grup hanya terbagi dalam dua grup - tapi dengan proses kualifikasi dan fase babak gugur dua leg yang cukup panjang sebelumnya - sistem gugur satu leg sudah diterapkan. Sistem gugur satu leg berlaku pada babak semifinal dengan dua tim terbaik dari dua grup dipertemukan secara silang (juara grup A bertemu runner up grup B dan sebaliknya). Milan dan Barcelona menembus final dan tim Serie A menjadi juara dengan kemenangan 4-0.

Meski penerapan sistem satu leg pada musim 2019/20 kali ini terjadi akibat kondisi mendesak karena pandemi virus korona, tak sedikit dari kalangan penggemar sepak bola yang berpikir bahwa sistem ini sebaiknya diterapkan untuk penyelenggaraan selanjutnya. Melihat beberapa kondisi yang bakal terjadi ke depannya, gagasan ini bukanlah sebuah hal yang buruk. Setidaknya ada tiga alasan mengapa fase gugur Liga Champions sebaiknya digelar dengan satu leg.


1. Sistem Satu Leg Terasa Lebih Adil

Atalanta v Paris Saint-Germain - UEFA Champions League Quarter Final
Atalanta v Paris Saint-Germain - UEFA Champions League Quarter Final / David Ramos/Getty Images

Jika sistem satu leg diberlakukan pada fase gugur Liga Champions, semua laga akan digelar di tempat netral. Ini bisa menghindari ketimpangan yang bisa saja terjadi jika laga dihelat dua leg. Misalnya, jika sistem gugur digelar dengan sistem kandang-tandang, dan salah satu tim yang akan berhadapan berasal dari negara yang dilanda konflik, biasanya tim tersebut harus menggelar laga dengan kondisi tanpa penonton.

Ini tentu sebuah hal yang merugikan bagi tim yang bersangkutan, karena saat bertndang ke tim lawan mereka justru mendapatkan 'teror' dari suporter tuan rumah. Dengan sistem satu leg di tempat netral, kondisi semacam ini bisa dihindari.

Hal lainnya adalah tak ada kelolosan sebuah tim yang ditentukan dengan aturan gol tandang. Aturan gol tandang bisa dianggap kurang sesuai diterapkan untuk menentukan keunggulan sebuah tim. Jika kedua tim memiliki agregat skor yang sama, yang lolos adalah yang mencetak gol lebih banyak di kandang lawan.

Masalahnya adalah jika kedua tim memiliki agregat skor seimbang dengan menciptakan skor yang sama dalam dua laga, contohnya tim A dan Tim B saling berhadapan dan mengakhiri dua leg dengan masing-masing skornya adalah 1-1 (agregat 2-2), laga harus diteruskan dengan extra time. Dalam hal ini, tim yang menjadi tuan rumah di leg kedua 'lebih diuntungkan' karena memainkan 2x15 menit yang menentukan di hadapan suporter mereka.

Jika sistem satu leg diterapkan, kedua tim yang berhadapan akan bermain habis-habisan selama 90 menit atau lebih tanpa ketimpangan beban mental. Dengan sistem dua leg, tim pertama yang menjadi tuan rumah kerap memiliki beban mental lebih besar ketimbang lawan mereka karena mereka ada tekanan lebih besar untuk tidak kebobolan dan meraih gol sebanyak mungkin.


2. Pandemi Korona 'Merusak' Penjadwalan Kompetisi Hingga Beberapa Tahun Mendatang

Olympique Lyonnais v Bayern Munich - UEFA Champions League Semi Final
Olympique Lyonnais v Bayern Munich - UEFA Champions League Semi Final / Pool/Getty Images

Pandemi korona tak hanya berdampak pada penjadwalan dan sistem kompetisi Liga Champions dan Liga Europa 2019/20, tapi juga perhelatan Piala Eropa 2020 yang harus ditunda ke 2021.

Begitu halnya dengan liga-liga Eropa yang sebagian besar baru bisa menggulirkan kompetisi musim 2020/21 pada bulan September nanti.

Bergesernya jadwal awal musim 2020/21 ini tentu membuat jadwal antar pertandingan semakin rapat dengan kompetisi mau tak mau harus tetap berakhir pada pertengahan Mei 2021 karena pergelaran Piala Eropa kemungkinan akan dimulai pada bulan Juni.

Pandemi korona sendiri belum menunjukkan tanda-tanda positif bakal mereda mengingat vaksin belum ditemukan dan sudah banyak negara yang mengalami gelombang kedua dari pandemi virus ini.

Penundaan jadwal pertandingan di musim 2020/21 masih bisa saja terjadi secara tiba-tiba dan pergelaran Piala Eropa bisa jadi bakal mundur lagi dan itu bisa berdampak pada penjadwalan musim 2021/22 hingga 2022/23 karena ada turnamen Piala Dunia yang akan digelar pada 2022.

Panjangnya masa terdampak pandemi korona ini tentu harus disikapi dengan cerdik dan tidak mengorbankan para pemain yang paling merasakan akibatnya secara fisik. Sistem satu leg di fase gugur akan terasa lebih efektif untuk melindungi kepentingan para pemain dan siapa pun yang terlibat dalam kompetisi.


3. Mengurangi Penyebaran Virus Korona

Paris Saint Germain Football Fans During Champion League Finals
Paris Saint Germain Football Fans During Champion League Finals / Kiran Ridley/Getty Images

Kita tidak pernah tahu apakah kehidupan dan aktivitas manusia ke depannya bisa kembali seperti pra 2020 dengan belum bisa dipastikan kapan pandemi virus korona bakal usai sementara satu-satunya jalan keluar dari situasi ini adalah vaksin yang hingga saat ini belum bisa dihasilkan.

Sistem satu leg tidak akan menghentikan pandemi tapi bisa menekan penularan virus korona karena itu berarti pergerakan massa juga berkurang dibanding dengan menggelar dengan dua leg.

Dengan hanya satu leg, dan kalau pun digelar dengan jumlah penonton terbatas, kontak antar manusia lebih terbatas, dan memudahkan tracking jika ada yang terinfeksi setelah menonton atau menjalani sebuah pertandingan.

Intinya, kompetisi sepak bola Eropa sebagai industri juga harus menunjukkan sikap bertanggung jawab dengan kondisi saat ini dan mengesampingkan kepentingan-kepentingan lain yang bisa mengancam nyawa manusia. Sampai situasi bisa pulih seperti pra 2020, sistem satu leg di fase gugur Liga Champions bisa dinilai sebagai bentuk kebijaksanaan ketimbang sebuah keputusan darurat.